Sabtu, 11 Juni 2011

POTRET BURAM UJIAN NASIONAL

U
jian Nasional SMA/SMK/MA baru saja berakhir. Sepertinya sudah tidak asing jika kita mendengar banyak siswa yang lulus dengan nilai tinggi. Tidak hanya itu, berita mengenai cacatnya ujian nasional juga kerap hadir menjelang musim ujian nasional. Seperti sudah menjadi pelanggan setia, banyak noda yang terjadi pada saat ujian nasional. Pantas saja, semua siswa sekolah banyak mendapat nilai tinggi.

Meski ujian nasional baru berlangsung, tapi jumlah laporan yang masuk ke Mendiknas telah mencapai 472 kasus. Mendiknas RI, Moh. Nur mengatakan laporan tersebut masuk dari berbagai daerah di Indondesia. "jenis kecurangan yang dilaporkan beragam. Mulai dari kebocoran soal dan kunci jawaban, sampai ketidaklengkapan dokumen dan berita acara." Kata Mendiknas RI saat di Makasar, Rabu (24/3)
Bahkan diprogram berita televisi, banyak diberitakan mengenai kecurangan yang dilakukan siswa maupun pihak sekolah. Beragam cara kecurangan dilakukan. Mulai dari jual beli soal dan kunci jawaban sampai dengan berseliwerannya kunci jawaban UN melalui SMS. Malah kadang pihak sekolah sendiri yang merekomendasi terjadinya kebebasan curang dalam pelaksanaan ujian nasional.


Tentunya berita-berita ini membuat kita sebagai pelajar malu. Kalo dipikir-pikir untuk apa kita belajar selama 3 tahun jika di akhir pembelajaran tidak perlu susah payah belajar, hanya menunggu bocoran dari pihak sekolah. Bahkan di musim-musim ujian seperti itu bukan lagi siswa yang tegang memikirkan UN tapi pihak sekolah yang sibuk dan tegang memikirkan bagaimana agar semua siswa lulus dengan nilai tinggi, termasuk siswa yang sehari-harinya kurang. Sepertinya UN ini menjadi ajang sekolah untuk bersaing (secara tidak secara tentunya). Sekolah tentu akan terkesan memiliki citra yang membanggakan jika siswanya lulus dengan nilai tinggi, walaupun harus dengan berbagai cara termasuk "nyontek". Padahal akan jauh lebih bagus jika persaingan di saat UN dilakukan secara sehat.

Tuntutan sekolah
"dituntut lulus ujian dengan nilai tinggi." Itulah yang mungkin membuat siswa menjadi tertekan dan rela melakukan apapun yang penting bisa lulus dengan nilai tinggi. Bahkan ada yang rela mengeluarkan rupiah dalam jumlah besar. Di samping itu kita juga tidak boleh menyalahkan siswa ataupun pihak sekolah dalam kasus ini. Nilai yang dituntut tinggi tapi metode belajar dan sarana pendidikan tidak diperhatikan :(:(

Ini semua hanya sebagian fakta dari potret buram dunia pendidikan di indonesia. Khususnya menjelang UN. Padahal UN bukan satu - satunya standar yang menjadi tolak ukur kelulusan. Sebagaimana tercantum dalam PP 19/2005 tentang standar nasional pendidikan yang memuat empat faktor penentu kelulusan siswa, yakni ujian nasional, ujian sekolah, nilai rapor semester terakhir, dan sikap siswa dalam proses pembelajaran.

Seberapa penting ujian ?
Boleh dibilang, ujian itu sangat penting. Tanpa ujian kita tidak dapat mengukur seberapa besar kemampuan kita dalam menyerap pelajaran selama beberapa tahun kebelakang. Dan menjadi tolak ukur apakah kita pantas untuk lulus. Tapi kini ujian sudah bealih fungsi. Ujian menjadi ajang untuk dilaksanakannya "nyontek masal". Hal ini sudah menjadi rahasia umum di negeri ini. Lantas, kenapa ujian masih saja dinodai dengan "kecurangan" ? Hemmm....

Berubah Yuk .. !
Inilah potret buram di balik pelaksanaan UN. Lantas, sebagai generasi muda, apakah kita rela jika pendidikan yang kita tempuh selama beberapa tahun kita nodai begitu saja dengan "curang" pas UN ? Apakah kita tidak mau mengetahui seberapa besar tingkat kemampuan kita dengan mengikuti ujian secara sehat ? Mulai sekarang, jangan lagi mengikuti hal-hal buruk menjelang ujian. Berkompetisi secara sehat dan jujur akan lebih membanggakan. Ingat, kita tidak hanya harus lulus dimata sekolah, tapi juga harus lulus dimata Allah Swt.:)

Buletin Remaja “Buka Mata”_noda di Ujian Nasional

Selasa, 07 Juni 2011

17 Agustus tahun 45, itulah hari kemerdekaan kita…
Hari merdeka, nusa dan bangsa , hari lahirnya bangsa Indonesia…
Mer..de..ka…
Sekali merdeka tetap merdeka, selama hayat masih dikandung badan
Kita tetap setia, tetap setia mempertahankan Indonesia
Kita tetap setia, tetap sedia, membela Negara kita….

Mengenang Proklamasi
Bandung senin, 17 Agustus 2009. Suasana pagi yang cerah di sebuah sekolah dasar Suka Jaya Bandung. Suara kicau burung yang bersahutan, angin yang sejuk, matahari pagi yang terhalang oleh sebuah pohon rindang di halaman sekolah, membuat suasana pagi pada pukul 09.00 menjadikan sebuah percakapan antar beberapa siswa-siswi SD Suka Jaya Bandung dan salah satu guru menjadi semakin bisa dihayati. Para siswa-siswi yang menunggu dimulainya upacara proklamasi, melakukan sedikit perbincangan mengenai detik-detik menuju proklamasi. Bagaimana upacara proklamasi dapat dibacakan.
Ibu guru Stevani  pun memulai cerita mengenai detik-detik sebelum proklamasi.
Dahulu, tepatnya tanggal 14 Agustus 1945. Negara kita yang dijajah oleh Jepang mendengar sebuah berita yang sangat mengejutkan dari seorang tokoh pemuda bernama Sutan Sjahrir. Dia mendengar berita tersebut dari siaran radio BBC, salah satu radio Inggris yang mengabarkan bahwa Jepang telah mengakui kekalahannya.
“Jepang telah kalah?” ucap Sjahrir dengan terkejut dan bingung. Tanpa pikir panjang Sjahrir memberi tahu berita itu kepada Drs. Moh Hatta dan bergegas menuju rumah Ir. Soekarno di Jl.Pegangsaan Timur No.55 Jakarta. Dengan perasaan yang masih terkejut. Sjahrir mendesak Drs.Moh Hatta dan Ir.Soekarno selaku golongan tua untuk segera memproklamasikan kemerdekaan Indonesia. Namun golongan tua tersebut menolak .
“Hemm… bagaimana ini? saya tidak sabar melihat sikap para golongan tua itu. “ Kata Sjahrir berbicara pada dirinya sendiri. Terjadilah perbedaaan pendapat antara golongan tua yang terdiri dari Ir. Soekarno, Drs. Moh Hatta, A. Soebardjo, Radjiman Widyoningrat. Golongan muda terdiri dari Sutan Sjahrir, Chairul Saleh, Wikana dan lain-lain. Yang menyebabkan terjadinya sebuah peristiwa Rengasdengklok.
Keesokan harinya pada tanggal 15 Agustus 1945, disebuah Fakultas kesehatan masyarakat UI ada sebuah rapat antar golongan muda yang dipimpin oleh Chairul Saleh. “Teman-teman sekalian, apakah kalian setuju jika Ir. Soekarno segera memproklamasikan kemerdekaan?”. Tanya Chairul kepada rekan yang mengikuti rapat.
“setuju, saya memang menginginkan hal itu. “Sahut Sjahrir
“Iya, setuju!” Sahut hadirin rapat yang lain.
Hasil rapat pun telah diputuskan, bahwa Ir. Soekarno harus segera memproklamasikan kemerdekaan Indonesia. Hasil rapat tersebut dibawa oleh Wikana dan Darwis menemui Ir. Soekarno dan mengusulkan agar beliau cepat memproklamasikan kemerdekaan. Tapi Ir. Soekarno masih saja menolak.
“Saya tidak mau proklamasi segera dibacakan!” Ucap Ir. Soekarno kepada Wikana dan Darwis
“Memangnya kenapa pak?” Tanya Wikana
“Kita harus memusyawarahkannya terlebih dahulu pada rapat PPKI.
“Saya tidak setuju Pak! PPKI itu adalah organisasi bentukasn Jepang!” Bantah Darwis.
Karena perbedaan pendapat tersebutlah pada tanggal 16 Agustus 1945, sekitar pukul 04.00, salah seorang tokoh golongan muda, Shodanco Singgih   bersama pemuda lain berhasil membawa Ir. Soekarno dan Moh. Hatta ke Rengasdengklok.
“Mengapa kami dibawa ke Rengasdengklok?” Tanya Moh. Hatta
“Kami tidak ingin bapak terpengaruh oleh Jepang.” Jawab Shodanco
“Sepertinya di sini aman dari pengaruh Jepang!” Sahut salah seorang yang lain dari golongan muda.
Di Rengasdengklok, pendesakan oleh golongan muda terus dilakukan kepada Ir. Soekarno dan  Moh. Hatta agar segera memproklamasikan kemerdekaan. Tidak hanya di Rengasdengklok, ternyata di Jakarta Wikana dan A. Soebardjo bersepakat bahwa proklamasi kemerdekaan di Jakarta. Kemudian A. Soebardjo menjemput Ir. Soekarno dan yang lain ke Rengasdengklok.
Sesampainya di Rengasdengklok, A. Soebardjo dan semua yang berada di Rengasdengklok bersepakat, bahwa proklamasi kemerdekaan harus dibacakan paling lambat 17 Agustus  pada pukul 12.00. Akhirnya Shondanco melepaskan Ir. Soekarno dan Moh. Hatta untuk kembali ke Jakarta pada tanggal 16 Agustus 1945 sore.
Dari Rengasdengklok pada tanggal 16 Agustus 1945 sore, Ir. Soekarno menuju rumah Laksamana Tadashi Maeda. Sebuah rumah di JL. Imam Bonjol no.1, yang aman dari pengawasan dan pengaruh Jepang yang sering digunakan sebagai tempat pertemuan para tokoh Pergerakan Nasional Indonesia, Ir .Soekarno beserta rombongan bermaksud menyusun teks proklamasi. Penyusunan dilakukan di ruang makan pada tanggal 17 Agustus 1945 dini hari. Para tokoh yang menyusun teks proklamasi antara lain Ir. Soekarno, Moh. Hatta, dan Ahmad Soebardjo. Setelah teks proklamasi disusun, lalu teks tersebut di bawah ke ruang depan dan hendak diketik oleh Sajuti Melik.
“Ini teks proklamasinya.” Kata Moh. Hatta kepada hadirin yang di ruang depan sambil memberikan teks proklamasi. “Bagaimana jika teks proklamasi ini ditandatangani oleh semua hadirin yang hadir di sini.” Ucap Ir. Soekarno
“Saya tidak setuju Pak!” Jawab Chaerul Saleh
“Bagaimana jika Ir. Soekarno dan Moh. Hatta menandatangani atas nama bangsa Indonesia?” Tanya Sukarni.
“Iya-iya setuju…!”Sahut semua hadirin”
Teks proklamasi pun ditandatangani sesuai permintaan Sukarni. Kemudian pembacaan pun dilakukan di lapangan Ikada, tapi Ir. Soekarno tidak setuju. Beliau takut terjadi bentrok antara masyarakat dan tentara Jepang. Maka dipilihlah rumah Ir. Soekarno.
Pada tanggal 17 Agustus 1945, hari jumat bertepatan dengan bulan Ramadhan, telah berkumpul para pemuda dan tokoh lain. Disinilah detik-detik yang sangat dekat dengan kemerdekaan. Sudah hampir jam 10.00 WIB, proklamasi belum juga dibacakan, ternyata Ir. Soekarno menungggu kedatangan Moh. Hatta.
Tepat pukul 10.00 WIB, proklamasi kemerdekaan dibacakan oleh Ir. Soekarno. bendera Merah Putih pun dikibarkan, dan lagu Indonesia Raya spontan dinyanyikan oleh para hadirin.
“Anak-anak, begitulah peristiwa yang mendekati proklamasi kemerdekaan kita.” Ujar Bu Stevani, kepada para siswa-siswi SD Suka Jaya Bandung.
“Wah, sekarang kita sudah merdeka ya…!” Ucap Doni.
“Iya, itulah hari di mana bangsa Indonesia lahir, hari yang merupakan titik puncak perjuangan bangsa Indonesia. Kini Negara kita sudah merdeka, maka dari itu kita harus menghargai jasa pahlawan.” Kata Bu Stevani
“Bagaimana caranya Bu?” Tanya Rika penasaran
“Isi kemerdekaan ini dengan hal-hal positif seperti belajar dengan sungguh-sungguh, mengikuti upacara dengan tertib dan  jangan lupa mendoakan para pahlawan yang telah berjuang demi kemerdekaan Indonesia.” Jawab Bu Stevani
“Oh begitu ya Bu!” Ucap Shinta
Begitulah perbincangan antar siswa-siswi SD Suka Jaya Bandung dengan seorang guru yang mengenang peristiwa jelang proklamasi. Tanpa disadari waktu telah menunjukan pukul 10.00 maka upacara HUT RI di sekolah tersebut segera dimulai. Semua memasuki barisan dan upacara dilakukan dengan khidmat.